Cerpen - Potong Rambut
"Mas, cepat potong. Aku penasaran !" Gadis itu memohon. Lembut dan terkesan memaksa.
Permintaan itu diucapkannya berulang kali. Dan sekali ini terdengar seperti tuntutan yang harus dipenuhi.
Semuanya berawal dari koleksi foto pribadi. Tanpa bisa dicegah, di luar pengawasanku, rasa penasaran yang tak bisa ditawar telah mengantarnya mengintip folder demi folder foto galeriku. Foto pribadi, berbagai pose, sendiri atau dengan teman, karena dianggap penting sebagai kenang-kenangan, kusimpan rapi di sana.
"Pendek lebih keren dan rapi, mas!"
Bibirku mengembang menerima sanjungan itu. Ini bukan melulu soal pujian. Dalam sekejap aku melambung jauh menuju ke langit. Dari langit terlihat jelas satu titik terang, itulah semyummu. Senyum yang akan kau berikan kepadaku begitu keinginanmu telah kuiyakan.
Tak terhitung berapa orang yang telah memintaku memotong rambut ikal itu. satu pun tak mampu menggoyahkan pendirianku yang waktu itu kokoh sekuat baja, teguh sehangat bara. Tapi, di depanmu, akan berbeda ceritanya jika kau yang meminta. Dengan modal satu sanjungan, senyum manis, mata penuh harap, maka susutlah kebanggaanku pada rambut yang hampir satu tahun kupelihara. Sederhana saja kalimatmu ; perbaikilah hidupmu, termasuk penampilanmu. Aku terpesona. Kau perempuan yang penuh perhatian.
***
Minggu malam, dari sisi jalan aku menyeberang, mengambil kesempatan dari celah jeda lalu lalang kendaraan. Tidak beberapa lama kemudian, aku duduk di sebuah kursi yang telah disediakan. menghadap sebuah cermin besar persegi panjang. Di depannya aku melihat diriku sendiri ; Wajah tirus, tulang pipi yang sedikit menonjol yang kehilangan daging, rambut lebat hitam bergelombang, panjangnya sebahu menyerupai perempuan, alis tebal dan lebar, pandang sayu dan lesu. Seluruh komposisi itu memang sejalan dengan penilaianmu terhadap hidupku yang berantakan. Pesimis, egois dan individualis. Lalu, apa sebenarnya yang kau lihat dan harapkan dariku?
Kini, jurai-jurai rambutku berguguran, jatuh mendarati lantai dari gunting yang memotongnya.
Srat. Srat. Srat..........
Kurang dari satu jam. Kain yang disampirkan dari dada sampai ke pinggang itu dilepas. Kain pengaman yang melindungiku dari potongan rambut yang berhamburan. Satu pemandangan baru terpantul dari kaca bening di depanku.
"Ngunu kan apik," pria yang tadi sibuk menjalankan tugasnya memotong rambut itu kini berkomentar. Wajahnya bahagia. Aku tersenyum bangga.
Usai menyerahkan uang sepuluh ribu. Aku minta diri. Aku ingin segera menemuimu.
***
Di bantaran jalan menuju kota, aku menyelinap melewati warung dan gedung pertokoan yang tutup. Sepanjang jalan kepalaku sibuk menebak-nebak penyambutanmu terhadapku.
Jam sembilan kurang. Aku bergegas menuju tempat kediamanmu. Di balik sebatang pohon kusembunyikan tubuhku dengan maksud ingin memberi kejutan. Pelan-pelan kau keluar. Matamu melihat sekitar mencari sosokku yang samar di belakang pohon.
Kau tersenyum lebar setelah aku keluar dari persembunyian. Entah apa yang lucu tiba-tiba saja kau tertawa.
Seperti yang kaupinta. Aku berdiri di depanmu melepas penasaran yang menyiksa.
Selepas Isya, Malang 19 April 2016 (diedit ulang September 2020)
Post a Comment for "Cerpen - Potong Rambut"
▶️ Berkomentarlah dengan baik dan sopan.
▶️ Dilarang menyertakan link aktif.
▶️ Budayakan berkomentar sesuai topik tulisan.